Apakah pembangunan Kereta Cepat Jakarta‑Bandung (KCJB) “mubazir”
Baik 👍 saya buatkan simulasi ekonomi Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB/Whoosh) secara sederhana tapi cukup detail. Kita coba lihat apakah proyek ini memang “rugi permanen” atau masih ada peluang balik modal.
---
1. Data Dasar (perkiraan 2024–2025)
Total biaya proyek: ± Rp 113 triliun
Kapasitas angkut: 601 kursi per rangkaian × 8 rangkaian × ±68 perjalanan/hari → ±33.000 kursi/hari
Target penumpang KAI: 31.000–40.000 per hari
Harga tiket rata-rata: Rp 300.000 (kelas ekonomi Rp 250k, kelas premium Rp 350–400k)
Opex (operasional): Listrik, SDM, perawatan rel & kereta → estimasi ± Rp 3–4 triliun/tahun
Beban bunga utang: dengan porsi utang ± Rp 80 triliun ke China, bunga 3,5% → Rp 2,8 triliun/tahun
---
2. Simulasi Pendapatan
Skenario Optimis (Load Factor 90%)
Penumpang: 30.000/hari × 365 = 10,95 juta/tahun
Pendapatan tiket: 10,95 juta × Rp 300k = Rp 3,28 triliun/tahun
Skenario Moderat (Load Factor 60%)
Penumpang: 20.000/hari × 365 = 7,3 juta/tahun
Pendapatan tiket: 7,3 juta × Rp 300k = Rp 2,19 triliun/tahun
Skenario Pesimis (Load Factor 40%)
Penumpang: 13.000/hari × 365 = 4,7 juta/tahun
Pendapatan tiket: 4,7 juta × Rp 300k = Rp 1,41 triliun/tahun
---
3. Biaya Tahunan
Opex: ± Rp 3,5 triliun
Bunga utang: ± Rp 2,8 triliun
Total beban tahunan: Rp 6,3 triliun
---
4. Break Even Analysis
Agar KCJB bisa break even operasional + bunga, butuh pendapatan minimal Rp 6,3 triliun/tahun.
Dengan harga tiket Rp 300.000 → butuh 21 juta penumpang/tahun, atau ±57.500 penumpang/hari.
Kapasitas maksimum hanya ±33.000 kursi/hari → secara matematis mustahil BEP dari tiket saja.
---
5. Implikasi
1. Pasti butuh subsidi:
Kalau load factor 60% (7,3 juta penumpang), pendapatan Rp 2,2 triliun vs beban Rp 6,3 triliun → defisit ± Rp 4,1 triliun/tahun.
Ini harus ditutup oleh pemerintah (APBN) atau cross-subsidi dari KAI.
2. Strategi TOD (Transit Oriented Development)
Harapan besar justru dari bisnis properti di sekitar stasiun (Karawang, Walini, Tegal Luar, Halim).
Kalau TOD berhasil, KCJB bisa dapat tambahan revenue dari sewa, ritel, apartemen → ini bisa membantu mengurangi kerugian.
3. Jangka panjang (JK–SBY)
KCJB baru masuk akal kalau diperpanjang sampai Surabaya (±730 km) → baru efisien untuk kereta cepat.
Artinya proyek ini memang lebih cocok sebagai pilot project + politik legacy, bukan proyek bisnis murni.
---
6. Perbandingan dengan Infrastruktur Lain
Tol Trans-Sumatra: Investasi besar, juga tidak untung di awal, tapi dianggap “public good” untuk konektivitas.
MRT Jakarta: Subsidi tahunan ± Rp 700 miliar, tapi diterima publik karena manfaat sosialnya besar.
KCJB: Subsidi bisa tembus Rp 4–5 triliun/tahun, manfaat sosialnya masih dipertanyakan (karena hanya melayani segmen menengah-atas).
---
✅ Kesimpulan Simulasi Ekonomi
Dari sisi bisnis murni → proyek ini hampir mustahil untung.
Dari sisi sosial-politik → ada manfaat (waktu, teknologi, simbol modernitas), tapi tidak sebanding dengan biaya dan utang.
Jadi tulisan yang Anda bawa tadi benar dalam satu hal: secara finansial, KCJB adalah beban.
Namun salah kalau dibilang “tanpa manfaat sama sekali” → manfaat ada, tapi sifatnya intangible (kebanggaan, pilot project, transfer teknologi).
Mau saya buatkan proyeksi 30 tahun ke depan (2025–2055) dengan asumsi pertumbuhan penumpang, inflasi tiket, dan skema subsidi → untuk lihat apakah KCJB akan terus jadi “beban permanen” atau bisa pelan-pelan menutup kerugian?
------------------------------------------------------
Ref WAG Forum Energizer UI pic Dani Hermawan
Comments
Post a Comment